Minggu, 09 Maret 2008

"We, katuas ne Gubernur NTT"



RAUT keresahan terpancar kuat dari wajah-wajah Belu selatan yang jadi korban banjir Sungai Benanain, Jumat (29/2/2008). Ya, mereka membayangkan rumah mereka yang rusak, hanyut dan tidak layak huni lagi.Tetapi ketika rombongan Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, tiba keresahan mereka sirna. Wajah-wajah yang tadinya tanpa ekspresi berubah sumringah, senang dan antusias. Drs. Frans Lebu Raya, calon Gubernur NTT yang akan maju dari PDIP, berpasangan dengan Ir. Esthon Foenay, M.Si itu, langsung menyapa warga yang hadir.Anak petani itu tidak memposisikan diri sebagai pejabat. Tidak mau mengambil jarak. Dia langsung mendatangi warga yang rata-rata kaum perempuan dan anak-anak di tenda penampungan. Ungkapan rasa keprihatinan meluncur setelah Lebu Raya melihat dari dekat kondisi warga yang tidur beralaskan tikar tanpa kelambu."Bagaimana keadaan bapak, mama, anak-anakku sekalian hari ini? Semua sudah makan atau belum? Bagaimana dengan persediaan bahan makanan dan air? Kalau ada yang sakit harus segera lapor sehingga segera dibantu." Demikian Lebu Raya menyapa warga. Tidak tampak rasa canggung atau takut para warga untuk mendekati Lebu Raya sekadar berjabatan tangan. Lebu Raya juga merangkul anak-anak yang berada di dekatnya. "Kami sudah makan bapak. Terima kasih bapak sudah datang lihat kami, kami merasa terhibur meskipun kami tinggal di tenda dan tidur beralaskan apa adanya. Bapak tidak canggung-canggung datang lihat kami seperti ini," ujar warga seperti alunan koor kecil.Banyak dari warga, terutama anak-anak mengira Lebu Raya adalah Gubernur NTT. Dalam bahasa Tetun, spontan mereka mengatakan, "We, katuas ne Gubernur NTT." (Bapak itu Gubernur NTT). Masuk akal kalau anak-anak itu mengatakan seperti itu. Pengakuan Fukun Bere Bria, dari Desa Lasaen membenarkan kesaksian anak-anak itu. Menurut Bere Bria, selama hampir delapan tahun mereka berkutat dengan persoalan banjir, baru kali ini pejabat propinsi mengunjungi wilayah Malaka melihat secara langsung kondisi masyarakat."Saya sebagai masyarakat kecil tentu sangat senang dengan kehadiran bapak wakil gubernur. Meskipun sibuk dengan segala macam urusan tetapi masih berkesempatan datang untuk lihat kami. Biar kami susah tetapi agak terhibur karena suara kami masih didengar pak wagub. Saya hanya mengharapkan agar pemerintah, apakah nanti gubernur baru supaya tolong perhatian tanggul dan rumah panggung buat kami masyarakat kecil. Kami sudah menderita delapan tahun, tapi sampai sekarang belum ada upaya penanganan permanent. Mudah-mudahan dengan kedatangan wagub ini harapan kami untuk rumah panggung dan tanggul dapat terwujud dan kami tidak lagi lari mencari lokasi yang aman dari banjir," ujar Bere Bria.Kepada warga Lebu Raya mengatakan, rumah panggung dan tanggul adalah alternatif yang paling baik. Dan, pemerintah bertekad membangun rumah panggung dan tanggul untuk warga. "Tanggul dan rumah panggung sudah jadi tekad pemerintah. Saya ajak kita berdoa supaya apa yang kita harapkan soal pembangunan tanggul yang rencananya Maret 2008 ini dilanjutkan bisa terselesaikan secara baik. Pemerintah propinsi juga akan berusaha meminta Pemkab TTS dan TTU untuk ikut bersama-sama memikirkan persoalan yang dihadapi warga Malaka ini. Karena bagaimanapun kejadian yang di hulu berimbas pada warga yang ada di hilir," katanya.Ketika menyatakan maju dalam Pilgub NTT berpasangan dengan Ir. Esthon Foenay, warga terlihat antusias. "Saya maju berpasangan dengan Pak Esthon Foenay. Kami sudah mengikrarkan nama untuk pasangan kami yakni FREN yang artinya sahabat. Kata ini juga sama dengan Belu yang artinya sahabat. Untuk itu, kami menyerahkan kepada hati nurani bapak, mama, pemuda-pemudi sekalian di tanah Malaka ini untuk menentukan pilihan," ujar Lebu Raya disambut tepuk tangan membahana para warga.
Kaberan Rai Di selatan Belu, duet FREN juga secara resmi dinobatkan sebagai Kaberan Rai (Tafatik/Raja) di Malaka, Jumat (29/2/2008). Penobatan ini selain atas restu dari seluruh dato dari empat wilayah dato, yakni, Dato Lekenahat, Dato Tamiru, Dato Buluas dan Dato Mota. Acara penobatan disaksikan para leluhur di tanah Malaka untuk mengawal FREN menjadi pemimpin di wilayah Nusa Tenggara Timur. Tongkat kebesaran Raja Malaka diserahkan kepada duet FREN dengan maksud untuk memimpin NTT secara arif dan bijaksana.Tafatik Umalor, Kornelis Muti Taruk, dan Makoan, Simon Bria, dalam perbincangan dengan Pos Kupang di sela-sela acara penobatan menjelaskan, sesuai dengan adat tradisi dari nenek moyang di Kerajaan Malaka, apabila seseorang mau diangkat menjadi Kaberan Rai atau raja, maka seluruh dato akan hadir. Para dato akan melihat apakah Kaberan Rai ini pantas memimpin masyarakat. Apabila para dato melihat sosok seseorang itu arif dan bijaksana, tidak sombong, rendah hati, maka yang bersangkutan akan diangkat menjadi raja. Dia pantas menduduki takhta kerajaan yang oleh masyarakat disebut Kaberan Rai atau Tafatik. Terkait dengan Pilgub NTT, jelas Muti Taruk, seluruh dato yang berada di bawah kekuasaan Tafatik Umalor telah sepakat menobatkan FREN untuk duduk di singgasana Kerajaan Malaka. FREN sudah menjadi bagian dari keluarga besar Tafatik Umalor. Para ama dato melihat bahwa figur FREN sangat dekat dengan masyarakat akar rumput sehingga pantas menerima tongkat kerajaan Umalor."Secara politik FREN sudah menjadi bagian dari masyarakat akar rumput. Mereka sekarang sudah jadi raja di Umalor dan didukung empat dato yang berada di bawah Raja Umalor. Kalau sudah ditahtakan seperti ini, maka otomatis seluruh warga yang ada di bawah kerajaan akan mendukungnya," tegas Muti Taruk.Sebelum dinobatkan di istana raja, FREN dilengkapi pakaian kebesaran kerajaan seperti destar yang dipakai di kepala. Itu artinya, pemimpin harus jadi pelindung masyarakat. Selain itu, ada tongkat yang berarti kekuasaan yang dilimpahkan untuk memimpin masyarakat secara arif dan bijaksana. Ada juga berika yang berarti kekuatan/semangat pantang mundur di kediaman tafatik Umalor, Muti Taruk. Selanjutnya, FREN diarak ke istana untuk dinobatkan sesuai tata cara adat istiadat setempat.Lebu Raya yang didaulat untuk berbicara mengatakan, dirinya merasa terharu dengan penerimaan yang sangat luar biasa oleh seluruh warga yang berada di bawah Tafatik Umalor. "Saya sangat menghormati adat istiadat. Kita semua punya nenek moyang yang mewariskan budaya. Saya orang kampung, lahir di kampung di Adonara dan memiliki kepercayaan akan leluhur. Setiap kesulitan yang dihadapi apabila kita berjalan bersama para leluhur maka saya yakin pasti akan ada jalan keluarnya," ujar Lebu Raya.Menurut Lebu Raya, tongkat kerajaan yang diberikan keluarga Kerajaan Umalor kepadanya memberikan kekuasaan dan tanggung jawab besar. Untuk itu, dia meminta agar dukungan baik dari para dato maupun seluruh warga dato memohon restu dari para leluhur di tanah Malaka agar merestui dirinya dan Esthon untuk memimpin NTT. (edy hayong)

Anak fetor yang bersahaja




ESTHON Foenay dalam kesehariannya sama seperti orang kebanyakan. Memegang teguh adat istiadat sebagai orang Timor, Esthon Foenay selalu menyapa tamunya dengan suguhan siri pinang. Kesederhanaan dalam kesehariannya itulah yang membuat Esthon Foenay sangat disegani.
Anak dari Fetor Welhelmus Cornelius Leyloh Foenay (alm) ini benar-benar mewarisi sifat kepemimpinan bapaknya. Dia tidak pernah lupa atau absen untuk meminta nasehat dari tua-tua adat yang semasa kepemimpinan bapaknya sangat disegani. Sebagai pewaris kerajaan Kupang Helong --sebuah kerajaan yang dibentuk pada tahun 1917 --, Esthon memiliki hubungan kepemimpinan yang sangat erat dengan Kerajaan Amaabi, Oefetto, Amabi, Sonbai Kecil dan TaEbenu.
Cerita sejarah budaya tersebut masih sangat kental dalam keseharian Esthon Foenay. Mungkin hal yang membedakannya adalah sikapnya yang sangat kooperatif, komunikatif dan semua orang dipandang sama. Saking bersahajanya kepribadian Esthon, membuatnya meski memiliki jabatan penting dalam berbagai organisasi namun terkadang 'menyepelekan' aturan protokoler. "Kalau semua bisa diatur dengan mudah, mengapa harus berpikir repot-repot. Bukan aturan protokolernya yang diutamakan, tetapi keberhasilan dari sebuah pekerjaan yang dilihat," ujarnya.
Prinsip-prinsip hidup tersebut juga sangat tampak dalam keseharian Esthon bersama keluarganya. Keluarga Foenay yang satu ini selalu well come kepada semua orang. Tak heran kalau orang mau berlama-lama kalau sudah larut dalam cerita dan guyonan-guyonan segarnya.
Esthon sudah pensiun dari birokrasi PNS. Namun ide-ide brilian yang dimilikinya masih sangat dibutuhkan masyarakat. Tak heran ketika dia menerima lamaran Drs. Frans Lebu Raya untuk maju dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013, rakyat NTT mulai menaruh harapan. Tak ada janji muluk yang terlontar dari bibirnya. Ia hanya mengharapkan agar rakyat NTT, "Sehati Sesuara, Membangun NTT Baru". (eko)

Data diri
Nama : Ir. Esthon Leyloh Foenay, M.Si
Lahir : Kupang, 3 Agustus 1950
Alamat : Jalan Anggrek Nomor 11 Oepura-Kupang
Agama : Kristen Protestan
Istri : Welmince Jublina Elisabeth Ndoenboey
Anak : Roland Foenay (alm), Olin Foenay, Deny Foenay
Tanda jasa/penghargaan : Juara I lomba pakaian daerah NTT tahun 1970
Juara I pria berbusana terbaik 1996
Tri Dharma Adikarya The Best Executif 99, tahun 1999
Develepment Award 2000, tahun 2000
Indonesia Executif Golden Award 2000, tahun 2000
Citra Eksekutif Pembangunan Indonesia tahun 2001
Penghargaan Diklat Kepemimpinan Nasional Tingkat I tahun 2001
Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun, tahun 2001 dan penghargaan lainnya

Ir. Esthon Leyloh Foenay, M.Si



Birokrat tulen yang religius


DI blantikan olahraga NTT dan Indonesia, nama Esthon Leyloh Foenay sudah tidak asing lagi. Aktif sebagai pengurus cabang olahraga, Esthon Foenay sudah dipercaya menjadi Ketua Harian KONI NTT sejak tahun 1998. Kepiawaiannya menata manajemen olahraga di KONI NTT membuat Esthon Foenay terus dipercaya memangku jabatannya hingga saat ini.
Dia memberi bukti atas kepercayaan tersebut. Peningkatan prestasi dari tahun ke tahun atau dari PON ke PON terus tampak. Itu semua tidak terlepas dari strategi pembinaannya dengan memilah-milah cabang prioritas. Esthon pun langsung identik dengan dunia olahraga di NTT. Padahal, dia sebenarnya adalah birokrat tulen.
Tamat strata 1 dari Fakultas Peternakan (Fapet) Undana tahun 1979, Esthon sudah menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada Setda Propinsi NTT sejak tahun 1976. Pengalamannya yang segudang di dunia birokrasi membuat nama Esthon Foenay mencuat kalah dipilih oleh Partai Golongan Karya (Golkar) menjadi calon Gubernur NTT periode 2003-2008. Meski kalah dari pasangan Piet Tallo-Frans Lebu Raya, nama Esthon langsung melejit masuk dalam hitungan orang berpengaruh di NTT.
Sosoknya yang murah senyum, rendah hati, bersahaja, humoris, komunikatif dan cepat akrab dengan semua orang, membuat Esthon Foenay diterima di semua kalangan. Dia disebut sebagai salah satu tokoh NTT yang sangat nasionalis dan moderat. Dia bergaul dengan semua orang, semua lapisan dan golongan, suku dan etni. Padahal, di kalangan orang Timor, dia sendiri berasal dari kalangan ningrat (fetor).
"Semua orang di mata Tuhan tidak ada bedanya. Semua manusia diciptakan dengan talentanya masing-masing dan itu semua sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Yang membedakan manusia mungkin hanya kesempatan dan rezekinya," kata Esthon Foenay saat ditemui di kediamannya di Sonaf Pola, Oepura-Kupang beberapa waktu lalu.
Resmi pensiun sejak tahun lalu dengan pangkat/golongan IV E, Esthon Foenay yang menamatkan pasca sarjananya dari Unkris Satya Wacana Salatiga dengan spesialisasi Studi Pembangunan kini fokus pada jabatannya sebagai Ketua Harian KONI Propinsi NTT. Ada beberapa pendapat tentang NTT, saran dan kesan saat mengamati proses pembangunan di NTT yang muncul dari Esthon Foenay.


Anda boleh dibilang sangat sukses membina olahraga di NTT. Kiat-kiat apa yang Anda dipakai untuk meraih kesuksesan tersebut?
Kalau indikator penilaian prestasinya adalah perolehan medali di dua PON terakhir, maka bisa dikatakan bahwa prestasi olahraga di NTT mengalami peningkatan yang signifikan. Tapi harus diketahui bahwa prestasi yang dicapai itu bukan serta merta datang dengan sendirinya. Prestasi diukir karena rakyat NTT bersatu. Para atlet dan pelatih berlatih dengan disiplin, pengurus menyiapkan administrasi dan keuangannya, pemerintah mengalokasikan anggaran. Dan yang terutama adalah dukungan dari orangtua terhadap anaknya. Jadi, karena persatuan seluruh masyarakat NTT-lah prestasi itu bisa dicapai. Artinya, tidak benar sepenuhnya seperti pertanyaan tadi bahwa saya yang sukses. Mungkin kebetulan saja saat saya menjadi Ketua Harian KONI atlet kita berprestasi.

Anda bilang mengurus olahraga lebih banyak korban tenaga, waktu, uang dan perasaan daripada keuntungan materilnya. Sebagai birokrat yang dibilang sukses, Anda sebenarnya tidak perlu susah-susah untuk mengurus olahraga. Apa mungkin ada kepuasan tersendiri bagi Anda?
Sama seperti adik sebagai wartawan olahraga yang merasa bahagia ketika melihat para atlet bergembira kalau profilnya ditulis di koran. Coba adik bayangkan, seorang atlet yang tidak pernah pegang uang jutaan rupiah, tiba-tiba dia menerima bonus dengan amplop yang tebal karena bisa menjadi juara. Dia yang sebelumnya tingga di kampung bisa naik pesawat berkeliling Indonesia, bahkan dunia tanpa keluar uang sepeser pun. Para pengurus tidak mendapat bonus seperti mereka, namun yang menjadi kebahagiaan tersendiri adalah karena lewat organisasi yang saya tekuni, seorang atlet bisa berprestasi. Selain itu, saat berbaur dengan para atlet, saya bisa mengetahui dan belajar tentang berbagai karakter manusia.

Selain olahraga, Anda juga terlibat dalam organisasi keagamaan, akademis, kepemudaan dan lainnya. Bisa ceritakan sedikit tentang peran Anda?
Khusus untuk organisasi keagamaan, saya sudah menjadi penatua di Gereja Imanuel Oepura 20 tahun lebih sampai sekarang. Saya juga pernah menjadi Koordinator GMKI Kota Kupang. Selain itu, saya adalah Ketua Pesparawi NTT dan Yayasan Pengembangan Iman Indonesia di NTT sampai sekarang. Khusus untuk Pesparawi, sudah banyak prestasi yang diraih kontingen NTT dalam lomba-lomba tingkat nasional. Untuk bidang akademis, saya sampai saat ini adalah Ketua Yayasan Akademi Teknik Kupang. Saya juga menjadi pengurus Yayasan Unkris Kupang dan banyak lagi. Untuk kepemudaan, kalau mau dirinci sangat banyak, tapi yang pasti saya pernah terlibat di AMPI, KNPI, Orari dan lainnya.

Kalau pengalaman di birokrasi?
Yang jelas sejak saya menjadi pegawai honor tahun 1976 saat masih kuliah, sudah banyak bidang kerja dan jabatan yang saya geluti. Karena jabatan di Biro Binsos, penyusunan program, Bappeda hingga Badan Diklat, saya mengenal banyak karakter manusia mulai dari kelas bahwa hingga atas. Selain itu, saya juga sedikit tahu tentang berbagai bidang kerja dan juga bisa mengelilingi dunia karena pekerjaan yang saya tekuni.

Keliling dunia? Ke mana saja Anda pergi dan apa tugasnya?
Untuk bidang kerohanian, saya mengikuti ziarah religius ke Israel dan Palestina, mengunjungi tempat kelahiran Yesus Kristus, dibaptis, disalibkan, kuburanNya, Taman Getsemani dan situs-situs kerohanian lainnya yang ada di Alkitab. Sementara untuk tugas pemerintahan saya pernah ke Malaysia untuk urusan tenaga kerja, latihan manajemen penanggulangan bencana alam di Australia, presentase hasil bantuan air bersih di Frankfurt-Jerman, seminar internasional di Kagosima-Jepang tentang perlindungan margasatwa langka, Diklat Sandwich di Manhein-Jerman yang merupakan program kerja sama pemerintah Indonesia dan Jerman berupa diklat kejuruan. Selain itu, saya juga melakukan studi banding berbagai bidang pembangunan di Singapura, Belanda, Perancis, Inggris, Vatikan, Roma, Belgia, Swiss, Jerman dan Venisia serta yang lainnya saya sudah lupa. Tapi harus dicatat bahwa semua perjalanan saya adalah resmi ditugaskan oleh pemerintah baik dalam jabatan saya sebagai Kepala Bappeda, Kepala Diklat dan lainnya.

Anda terbilang sebagai salah satu dari sedikit orang yang bisa aktif di semua bidang. Bagaimana Anda membagi waktu untuk menyelesaikan semua pekerjaan tersebut?
Satu yang paling penting adalah disiplin, tanggung jawab dan jangan menunda. Tugas jangan jadi beban bagi kita, tetapi harus dimaknai sebagai berkah. Tidak semua orang bisa dipercaya untuk mengemban sebuah tugas, sehingga setiap kesempatan harus dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan semua tugas.

Anda dekat dengan pers, terbukti sering menulis di media-media massa. Apa pentingnya pers bagi Anda?
Di era transparansi seperti ini, tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Melalui pers, kita mendekatkan diri dengan dunia dan dunia juga mengetahui kita. Pers adalah media yang sangat praktis untuk promosi pembangunan atau apa saja. Kalau seorang pejabat menjauhi pers, maka sebenarnya dia sedang berbuat sesuatu yang salah. Bagus atau tidaknya program pembangunan dan bagaimana implementasinya di lapangan, semuanya sangat tergantung pada publikasi. Kita tidak mungkin menjangkau semua lapisan masyarakat dalam jangka waktu yang cepat, sehingga peranan pers sekarang ini sangat penting untuk melaksanakan tugas tersebut. Mengenai kebiasaan saya menulis di koran, itu bukan hal baru. Lewat tulisan-tulisan opini di koran, saya bisa langsung menelorkan ide-ide yang ada sehingga diketahui masyarakat. Sebenarnya menulis ini adalah hal biasa, namun budaya menulis yang belum dikembangkan kepada semua lapisan masyarakat.

Anda kelihatannya sangat energik dan selalu tersenyum pada semua hal...
Resepnya sangat sederhana. Awali semua pekerjaan dengan doa, berolahraga secara teratur, atur pola makan yang sehat dan rendah hati terhadap semua orang. Dengan tersenyum kepada semua orang, sedikit beban bisa terbagi. Satu hal lagi yang harus dipegang adalah selalu tersenyum dan memaafkan orang lain meski sudah disakiti. Kita bukan penghakim sehingga harus menaruh dendam, karena semua sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam Pilgub NTT sekarang, Anda jadi rebutan. Banyak yang melamar Anda, namun Anda lebih memilih Drs. Frans Lebu Raya. Mungkinkah ada konsekuensi dari pilihan Anda?
Saya memilih Pak Frans Lebu Raya karena di sana ada kepastian. Mengurus rakyat bukan untuk coba-coba atau mencari pengalaman. Pak Frans sudah memiliki pengalaman sebagai wakil gubernur. Dia juga memiliki latar belakang politik yang luar biasa. Selain itu, orangnya rendah hati, sehingga ketika ada tawaran untuk mendampinginya menjadi calon wakil gubernur, saya langsung setuju.

Ada motivasi lain?
Bersama Pak Frans, kami ingin bersama rakyat NTT merancang bersama suatu kehidupan yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih sejahtera. Sudah terlalu lama NTT ini distigmakan dengan sekian banyak nada minor. Dari begitu banyak aspek kehidupan, kita selalu berada di nomor butut. Saya setuju dengan Pak Frans bahwa kita tidak bodoh, tidak mampu atau juga miskin. Yang kurang dari kita adalah tidak kompak. Pemimpin jalan sendiri, rakyat jalan sendiri. Kami berdua ingin membaktikan diri untuk NTT dengan motto Sehati Sesuara, Membangun NTT Baru.

Ada pendapat ketika masih calon banyak figur yang menebar janji. Setelah jadi pejabat lupa masyarakat. Ada komentar Anda tentang ini?
Orang berpendapat demikian karena mungkin ada pengalaman. Tetapi bersama Pak Frans, kami tidak mau menebar janji yang muluk-muluk. Saya pikir rakyat NTT sudah tahu siapa Frans Lebu Raya dan siapa Esthon Foenay. Jadi, mereka sudah tahu sikap apa yang harus diambil. Kami tidak datang karena kepentingan, tapi masyarakat sudah tahu apa yang sudah pernah kami buat untuk mereka.

Apa obsesi dalam hidup Anda?
Membuat orang lain bahagia. Ketika Anda berbuat sesuatu dan orang lain menikmatinya dengan senyum dan tawa, di situ akan menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Mengimingi rakyat dengan peningkatan taraf hidup, pendapatan dan kesejahteraan itu sangat baik. Tapi akan lebih bagus kalau seorang pejabat bisa membuat masyarakatnya selalu tersenyum dalam menapaki kehidupannya. (sipri seko)

Drs. Frans Lebu Raya



"Saya anak petani""Saya anak petani"

SOSOKNYA telah go to Flobamorata semenjak sepuluh tahun lalu. Sebelum itu, nama Frans Lebu Raya belum banyak dikenal. Figurnya juga belum banyak diketahui, kecuali di kalangan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dia masih tenggelam di bawah sungkup format politik orde baru yang masih sangat diatur dan sentralistis.
Tetapi ketika terjadi perubahan politik di negeri ini saat reformasi tahun 1998, Frans mulai tampil ke pentas arena. Bersamaan dengan menguatnya sosok Megawati di tingkat pusat, di NTT Frans dengan beberapa kawannya di barisan tercederai ini naik panggung melalui pintu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Waktu itu situasi politik belum stabil. Banyak yang tidak mau masuk PDIP karena takut ditangkap. Tetapi saya dengan beberapa teman, seperti Pak Anton Haba, memberanikan diri terlibat dalam pergulatan politik bersama PDIP. Kami terjun ke PDIP, bergabung bersama Ibu Mega di barisan orang-orang yang sering disakiti penguasa ketika itu," kenang Frans, ketika diwawancarai Pos Kupang di ruang kerjanya, Rabu (20/2/2008) lalu.
Anak petani dari Adonara ini banyak berkisah tentang riwayat perjalanannya yang dilukiskannya penuh onak dan duri. Frans mengatakan, karier politik yang sekarang diraihnya merupakan hasil investasi dari segudang pengalaman pahit, penderitaan, tekad, dan semangatnya yang pantang menyerah. Latar belakangnya sebagai anak petani di kampung, kata Frans, telah turut mewarnai sepak terjangnya baik sebagai politisi maupun sebagai pejabat publik yang dekat dengan orang kecil, low profile dan tidak memposisikan diri terlalu jauh di atas.
Ikuti perbincangan dengan Frans Lebu Raya yang akan maju menjadi calon Gubernur NTT dalam arena pemilihan gubernur berpasangan dengan Ir. Esthon Foenay, M.Si, yang lebih tenar dengan sebutan FREN.


Bisa Anda ceritakan pengalaman politik yang menghantar Anda hingga mencapai posisi seperti sekarang ini?
Dunia politik sangat berbeda dengan dunia lain, terutama birokrasi. Di birokrasi, jenjang seseorang itu berjalan pasti, biar pelan. Dari bawah ke atas. Tetapi di politik berbeda. Tidak ada kepastian di politik bagi seseorang meniti kariernya. Hari ini bisa berhasil, besok dan lusa belum tentu. Saya sudah sepuluh tahun bergelut di dunia politik hingga sekarang menjabat sebagai wakil gubernur. Saya mulai terjun secara intens dan total di politik tahun 1998 ketika terjadi perubahan peta politik di tanah air. Seperti kita ketahui ketika itu orde baru mulai melemah dan Megawati tampil sebagai simbol perlawanan arus bawah, perlawanan orang-orang kecil yang merasa dicederai. Di NTT, bersama beberapa orang teman seperti Pak Anton Haba, kami terjun ke PDIP dan bersama-sama mendirikan dan membesarkan PDIP NTT. Saya ingat ketika awal-awal banyak yang enggan bergabung karena takut ditangkap. Saya berani karena saya sadar bahwa itulah dinamika yang terjadi dalam politik, itulah risiko politik yang harus dihadapi. Dunia politik adalah dunia yang keras. Orang yang pengecut tidak ada tempatnya dalam politik. Pemilu tahun 1999 menghantar saya ke gedung DPRD NTT. Lima tahun di Dewan, saya kemudian maju bersama Pak Piet Tallo merebut kursi gubernur dan wakil gubernur.


Anda bilang tidak ada tempat bagi pengecut di politik. Tetapi sosok Anda terkesan sangat lembut dan santun untuk dunia politik yang keras....
Benar. Meski keras, tetapi menurut saya, politik juga punya etika, punya norma, ada sopan santunnya. Di politik saya lebih suka menampilkan diri sebagai orang yang sederhana, low profile dan santun. Jalan kekerasan tidak ada dalam benak saya. Saya juga tidak setuju dengan konsep Machiaveli, yakni tujuan menghalalkan cara. Itu tidak ada pada saya. Yang paling penting menurut saya adalah sikap, prinsip dan pandangan. Sikap, prinsip dan pandangan seorang politisi harus jelas dan tegas. Yang berbeda cuma cara. Fortiter in re, suaviter in modo. Tegas dalam prinsip, halus dalam cara. Saya juga tidak suka politisi yang seperti bunglon, loncat sana loncat sini. Pagi begini, siang begitu, malam berubah lagi. Saya tidak seperti itu. Saya punya sikap, prinsip dan pandangan. Karena itu, saya tetap membawa diri, menyatakan diri saya sebagai Frans Lebu Raya, bukan siapa-siapa.


Latar belakang Anda adalah LSM. Sejauh mana back ground itu mempengaruhi Anda?
Dunia LSM mengajarkan saya untuk dekat dengan masyarakat. Di LSM saya merasakan betul apa artinya melayani, apa artinya dekat dengan rakyat kecil. Di LSM sekurang-kurangnya saya bisa menangkap apa harapan warga di kampung-kampung, menangkap persoalan-persoalan yang mereka hadapi, dan juga mengerti bagaimana mendekati mereka. Saya bisa merasakan bagaimana suka duka dan beratnya perjuangan mereka meniti hidup yang semakin keras dan berat. Saya juga anak petani di kampung. Suasana dan dinamika di kampung sesungguhnya telah menjadi panti pendidikan pertama buat langkah saya selanjutnya. Pengalaman di LSM dan latar belakang dari kampung itu sangat mempengaruhi saya, sehingga ketika berada di tengah masyarakat, saya tahu bagaimana mesti membawa diri, bagaimana menggunakan bahasa orang kampung. Saya ini orang kampung, anak petani yang lahir dari rahim desa, merasakan denyut kehidupan di desa, akrab dengan orang-orang kecil.


Dari pengalaman Anda lima tahun menjabat wakil gubernur, apa yang dapat tangkap dari masyarakat?
Saya melihat bahwa orang-orang kita itu butuh dihargai, disentuh, diperhatikan dan disapa. Mereka punya kemampuan, punya cara dan jalan menyatakan jati dirinya. Biarpun hidup di kampung-kampung, toh mereka punya nilai-nilai, punya prinsip, punya pandangan hidup. Mereka mungkin miskin harta, tetapi tidak miskin harga diri. Mereka punya pandangan hidup yang mempengaruhi mereka, punya filosofi yang membuat mereka bertahan. Bisa lihat, ketika krisis ekonomi mendera bangsa ini, orang-orang kampung adalah orang yang kurang merasakan dampaknya. Itu karena mereka punya nilai, punya sikap, punya pandangan, punya potensi dan punya kemampuan diri. Daya juang mereka sangat tinggi. Mereka tahu bagaimana mengatasi kesulitan, bagaimana keluar dari krisis. Itu sebabnya, di mana pun saya berkunjung dalam jabatan sebagai wakil gubernur, saya tidak memposisikan diri secara elitis, mengambil jarak yang terlalu jauh dengan masyarakat. Saya selalu berusaha untuk menjadi seperti mereka. Saya punya kesan, orang-orang kampung itu sangat menghargai orang lain jika dia juga dihargai, disapa.


Dari pengalaman itu, bagaimana Anda melihat posisi pemimpin di tengah masyarakat?
Bagaimana pun juga seorang pemimpin tetap dibutuhkan dalam setiap organisasi, termasuk pemerintahan. Tetapi dari pengalaman, saya melihat bahwa seorang pemimpin itu mesti berdiri di depan, di tengah dan di belakang masyarakat. Tepat filosofi orang Jawa, ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Menjadi pemimpin itu harus berdiri di depan memimpin rakyat. Kalau rakyat menghadapi kesulitan, pemimpin harus tampil di depan memimpin rakyatnya. Jangan ada masalah, pemimpin lari duluan. Itu tidak gentle. Dia juga harus jadi contoh. Jangan dia teriak anti korupsi, tetapi dia sendiri terlibat dalam praktek korupsi. Pemimpin juga mesti berada di tengah. Artinya, harus berada di tengah masyarakat, dekat dengan warga, kenal mereka, sering turun ke rakyat. Saya kagum dengan Pak El Tari dan Pak Ben Mboi yang sangat dikenal masyarakat NTT. Mereka sangat dikenal karena dekat dengan masyarakat, sering turun ke bawah melihat warganya. Jadi pemimpin itu harus mengakar ke bawah. Jangan seperti kumis yang akarnya ke atas. Pemimpin juga harus berada di belakang. Dia harus mendorong warga menerobos kesulitan hidupnya. Berada di belakang bukan berarti bersembunyi di balik penderitaan rakyat, bukan bersembunyi di balik kedok kepentingan rakyat lalu mencari keuntungan diri sendiri. Hanya pemimpin yang dekat dengan rakyat, kenal rakyatnya, berbuat sesuatu yang membekas bagi rakyatnya akan dikenang sepanjang sejarah.


Tahun ini NTT 50 tahun. Tetapi kita kok begini saja? Apa yang salah?
Saya pikir tidak bijak kalau kita suka mencari-cari pihak yang salah. Sikap itu kontraproduktif. Menurut saya, kita semua bersalah. Biar kecil, semua kita punya andil menjadikan NTT dalam kondisi seperti sekarang ini. Sebagai rakyat, mungkin kita tidak serius mengelola potensi yang ada pada kita. Kita salah karena tidak bekerja keras. Mengapa orang-orang Jawa saja yang bisa buka warung? Mengapa mereka saja yang jadi penjual daging ayam, tahu tempe, pisang goreng di NTT? Etos kerja kita yang harus kita perbaiki, tingkatkan lagi. Kita punya kemampuan, punya potensi, kemampuan intelektual kita juga cukup. Hanya kita tidak maksimalkan semua talenta dan potensi itu. Sebagai pemimpin, mungkin kita terlalu tinggi menempatkan diri, terlalu elitis, kurang membumi. Jadi pertanyaan kenapa NTT masih seperti ini adalah pertanyaan yang sangat baik bagi kita untuk refleksi.


Anda bersemangat mengajak masyarakat masuk laut dengan program gerakan masuk laut atau gemala. Bagaimana Anda melihat respons masyarakat terhadap program ini?
Betul. Gemala mesti menjadi program prioritas. Jangan lupa, laut kita jauh lebih luas dari daratan. Dan dalam laut itu ada begitu banyak potensi yang belum kita garap. Sebetulnya dari laut kita bisa maju dan sejahtera. Potensi ikan di laut kita luar biasa. Saya dengar ikan tuna atau cakalang, misalnya, di luar negeri mahal sekali. Di Amerika satu porsi ikan cakalang mentah yang terdiri dari tiga potong kecil di rumah makan Jepang mencapai sepuluh dolar. Hitung saja satu ekor ikan berapa porsi dan kalikan dengan sepuluh dolar. Bisa jadi di Amerika harga satu ekor cakalang menembus Rp 2 juta. Sementara di Larantuka harga ikan cakalang satu ekor cuma Rp 10 ribu. Jelas, terjadi kesenjangan yang terlalu jauh antara nelayan kita dengan pemilik modal. Nelayan kita punya ikan, tetapi yang paling banyak meraup keuntungan adalah investor di tempat lain. Apakah kita sendiri tidak bisa mengolah ikan jadi abon, dendeng atau ikan kaleng? Karena itu dengan gemala kita ajak masyarakat untuk mulai melihat laut. Memang tidak mudah. Butuh waktu karena sudah menyangkut kultur juga. Kita butuh waktu. Tetapi saya mau ingatkan bahwa potensi di laut itu luar biasa. Mengapa kita belum mau masuk laut? Ini tantangan sekaligus peluang.


Usia Anda sudah mendekati 50 tahun. Tetapi Anda kelihatan masih segar. Apa rahasianya?
Hee... hee... Pepatah Latin khan bilang, men sana in corpore sano. Jiwa yang sehat itu terdapat dalam tubuh yang sehat. Saya merasa bahwa pepatah ini bukan sekadar basa-basi. Badan atau tubuh dan pikiran atau jiwa itu harus seimbang. Pikiran tidak bisa sehat kalau tidak didukung dengan badan yang sehat. Sebaliknya badan tidak bisa sehat dan segar kalau pikiran juga tidak sehat. Rahasianya? Ya, selalu berpikir positif dan menjalani pola hidup sehat. Dari pengalaman saya, orang sehat tidak semata karena makanan, tetapi juga karena pikiran. Selalu berpikir positif, jangan suka melihat dan memandang sesuatu itu dari sisi negatifnya saja. Orang China itu punya filsafat ying dan yang. Menurut mereka segala sesuatu itu selalu punya dua sisi, positif dan negatif. Yang perlu dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara keduanya. Itu rahasianya.


Sebagai pejabat dengan begitu banyak kesibukan, menurut Anda apakah faktor usia juga penting menjadi pemimpin?
Faktor usia itu relatif. Siapa saja di usia mana saja bisa menjadi pemimpin kalau dia mau. Tetapi saya pikir, siapa pun tidak bisa menghindari diri dari kenyataan bahwa semakin tua usia, semakin lemah fisik. Semakin lemah fisik, semakin lamban berpikir, lamban bereaksi. Itu alamiah, tidak bisa dihindari.


Selama jadi wakil gubernur, apakah Anda punya tokoh yang jadi idola?
Pastilah. Tetapi menurut saya, yang paling penting itu bukan mengidolakan seorang tokoh, tetapi bagaimana kita belajar dari orang yang kita idolakan itu. Dari para gubernur sebelumnya, saya banyak belajar dan menimbah kebajikan mereka. Dari Pak El Tari saya belajar bagaimana bekerja keras dan berjuang bersama rakyat. Pak Tari adalah peletak dasar pembangunan NTT. Dari Pak Ben Mboi saya belajar bagaimana mendekatkan diri dengan rakyat. Ketika menjadi gubernur, Pak Ben berumur 43 tahun. Fisik yang masih kuat di usia muda seperti itu sangat memungkinkan Pak Ben mengunjungi hampir semua desa di NTT. Saya juga belajar sikap tegas dari Pak Ben sebagai seorang pemimpin. Dari Pak Fernandez saya belajar ketajaman membedah masalah. Sebagai dokter, pisau analisa Pak Fernandez tajam. Terbukti, meski cuma satu periode, tapi program Gempar dan Gerbades sangat dikenal dan sangat jauh gaungnya. Dari Pak Musakabe saya belajar rendah hati, jujur dan selalu berpikir positif. Beliau seorang tentara, tetapi sangat rendah hati, jujur dan tulus. Dari Pak Piet Tallo saya belajar kesabaran dan ketabahan. Pak Piet menjadi gubernur tatkala terjadi eksodus besar-besaran sesama warga eks Timor Timur. Dalam dalam hampir separuh masa jabatannya, Pak Piet dengan sabar dan tabah mengatasi masalah pengungsi dan aneka permasalahan lainnya.


Bersama Ir. Esthon Foenay, Anda maju dalam Pilgub NTT. Apa motivasi Anda sebetulnya?
Ya, kami berdua maju, serius dan sungguh-sungguh. Kami ingin bersama rakyat NTT merancang bersama suatu kehidupan yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih sejahtera. Sudah terlalu lama NTT ini distigmakan dengan sekian banyak nada minor. Dari begitu banyak aspek kehidupan, kita selalu berada di nomor butut. Apakah memang kita tidak mampu lagi? Saya kira tidak. Apakah kita bodoh? Saya kira tidak juga. Nah, dari pengalaman sebagai wakil gubernur, saya melihat bahwa kita belum berhasil karena kita tidak kompak. Program-program yang dirancang belum menyentuh rakyat. Pemimpin jalan sendiri, rakyat jalan sendiri. Ada kesenjangan yang terlalu jauh antara program pemerintah dan kebutuhan rakyat. Akibatnya, rakyat enggan berperan dalam pembangunan NTT karena melihat semua program pembangunan milik pemerintah, bukan milik mereka. Kami mau mengubah paradigma ini. Kami ingin semua kita sama-sama bahu membahu membangun NTT. Itu sebabnya motto kami adalah Sehati Sesuara, Membangun NTT Baru. Sederhana sekali, tetapi sarat makna karena menyentuh langsung hati rakyat, mengajak dan memposisikan mereka sebagai mitra pemerintah membangun NTT Baru, NTT yang kita cintai bersama. (tony kleden)



Biografi :

Nama : Drs. Frans Lebu Raya
Tempat/tanggal lahir : Watoone, Adonara, Flotim, 18 Mei 1960
Istri : Ny. Lusia Adinda Lebu Raya
Tempat/tanggal lahir : Denpasar, 6 Maret 1974
Menikah : 1 Mei 1999
Anak :
* Maria Jubliane Laetare Nurak (Leta)
Lahir 28 Agustus 2000
* Karmelia Eleonora Putri Bengan Tokan (Laura)
Lahir 4 Oktober 2004